Namun, kritikus mengingatkan bahwa Erdogan cenderung menjadi semakin otoriter dalam kepemimpinannya.
Pada tahun 2013, terjadi protes besar-besaran di Turki, termasuk protes Taman Gezi, yang merupakan tantangan terhadap pemerintahan yang semakin otoriter.
Erdogan juga terlibat dalam perseteruan dengan Fethullah Gulen, seorang cendekiawan Islam yang berbasis di Amerika Serikat.
Gerakan sosial dan budaya yang didukung oleh Gulen telah membantu Erdogan meraih kemenangan dalam tiga pemilihan berturut-turut dan berperan dalam mengusir militer dari dunia politik. Perseteruan ini berdampak besar bagi masyarakat Turki.
Setelah tidak bisa mencalonkan diri lagi sebagai perdana menteri, pada tahun 2014 Erdogan mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan langsung yang pertama kalinya diadakan di Turki.
Ia berencana untuk mereformasi peran presiden dan mengubah konstitusi untuk kepentingan semua warga Turki serta menempatkan negara mereka di antara 10 ekonomi terbesar di dunia.
Namun, pada awal masa kepresidenannya, Erdogan menghadapi tantangan besar.
Partainya kehilangan mayoritasnya di parlemen dalam pemilihan tahun 2015 dan beberapa bulan kemudian, Turki mengalami percobaan kudeta yang kekerasan yang pertama dalam beberapa dekade.
Erdogan hampir ditangkap oleh tentara pemberontak, tetapi ia berhasil diterbangkan ke tempat yang aman.
Dia kemudian muncul di Bandara Ataturk Istanbul dengan dukungan dan sorakan dari para pendukungnya.
Hampir 300 warga sipil tewas ketika mereka berusaha menghadang kemajuan kelompok kudeta.
Erdogan kemudian memenangkan referendum pada tahun 2017 yang memberinya kekuasaan eksekutif yang luas, termasuk hak untuk memberlakukan keadaan darurat, menunjuk pejabat tinggi pemerintahan, dan campur tangan dalam sistem peradilan.
Pada tahun 2018, ia memenangkan pemilihan presiden secara langsung dalam putaran pertama.
Dukungan utama Erdogan terletak di kota-kota kecil dan daerah pedesaan yang mayoritas konservatif.
Pada tahun 2019, partainya kalah dalam pemilihan di tiga kota besar, yaitu Istanbul, Ankara, dan Izmir.
Sebagai persiapan menghadapi pemilihan presiden pada tahun 2023, Erdogan berusaha untuk memperkuat dukungan dari pemilih nasionalis dan konservatif dengan menuduh Barat berkonspirasi melawan dirinya.
Ia menyatakan bahwa bangsanya akan menggagalkan plot tersebut.
Pada akhir kampanye kepresidenannya tahun 2023, Erdogan mengunjungi makam Adnan Menderes, perdana menteri Turki pertama yang terpilih secara demokratis dan dieksekusi setelah kudeta militer pada tahun 1961.
Dengan latar belakang politik dan perjuangan yang panjang, Erdogan berhasil mengukuhkan kekuasaannya selama beberapa dekade.
Namun, kepemimpinannya juga menjadi sumber kontroversi dan kritik di dalam dan luar Turki, terutama terkait dengan isu hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan keterbatasan demokrasi.
Tantangan besar masih menanti Erdogan dalam menjalankan kepemimpinannya di tengah perubahan dan dinamika kompleks baik dalam negeri maupun di arena internasional.
Tinggalkan Balasan