Menurut Ardhasena, suhu panas yang terjadi saat ini merupakan dampak dari gerak semu matahari yang berpindah dari utara ke selatan.

Indonesia sebagai negara tropis dengan suhu rata-rata di kisaran 30-an derajat Celsius memang mengalami kenaikan suhu pada bulan April dan Mei serta kembali memuncak pada bulan September dan Oktober.

Selain itu, Indonesia juga mengalami pancaroba, yakni transisi dari musim hujan ke musim kemarau, yang membuat atmosfer lembap dan menyebabkan ketidaknyamanan.

Kenaikan suhu akibat gerak semu matahari ini berbeda dengan kenaikan suhu akibat gelombang panas.

Ardhasena menjelaskan bahwa kenaikan suhu akibat gerak semu matahari hanya sekitar 1-2 derajat Celsius.

Namun, kombinasi antara kenaikan suhu dan kelembapan menyebabkan kondisi cuaca yang sangat gerah dan sumuk.

Namun, Ardhasena menegaskan bahwa fenomena ini hanyalah siklus tahunan yang akan berakhir dengan masuknya musim kemarau.

Pada saat musim kemarau, suhu akan turun dan menjadi lebih kering, sehingga kondisi cuaca pun akan menjadi lebih nyaman.

Meskipun begitu, Ardhasena mengingatkan bahwa kisaran suhu saat musim kemarau masih tetap tinggi, yaitu di kisaran 34-36 derajat Celsius.

Dalam hal ini, BMKG juga telah mengeluarkan peringatan dini cuaca untuk beberapa wilayah yang berpotensi mengalami cuaca ekstrem seperti gelombang panas.

BMKG meminta masyarakat untuk selalu waspada dan mengambil langkah pencegahan, seperti menghindari beraktivitas di luar ruangan pada siang hari atau memperbanyak minum air untuk menghindari dehidrasi.

Dengan penjelasan dari Ardhasena Sopaheluwakan tersebut, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bahwa cuaca panas yang terjadi saat ini bukanlah hal yang aneh atau luar biasa.

Fenomena ini hanya merupakan bagian dari siklus tahunan yang biasa terjadi di Indonesia.

Namun, tentu saja, tetap diperlukan langkah pencegahan untuk menghindari dampak yang lebih buruk akibat cuaca ekstrem tersebut.