Selain atas nama Panji Gumilang, aset tanah tersebut juga atas nama tujuh orang lain termasuk anak-anak dan istri Panji Gumilang.

Melihat Latar belakang Panji Gumilang Menurut Mahfud MD

Panji Gumilang saat penuhi panggilan Bareskrim Polri.

Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan pandangannya tentang sosok Panji Gumilang dan Pesantren Al Zaytun yang terkait dengan rentetan gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia (NII) yang pertama kali diusulkan oleh Kartosoewirjo.

Dalam acara Halaqah Ulama Nasional yang diadakan di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan pada hari Rabu, Mahfud MD mengungkapkan bahwa pada awal kemerdekaan Indonesia, banyak kalangan Islam yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki peran dalam pemerintahan yang baru.

Hal ini disebabkan oleh kebijakan pendidikan yang diskriminatif yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Hanya mereka yang memiliki ijazah pendidikan Islam yang diakui dapat masuk ke dalam pemerintahan.

“Banyak pejuang, generasi muda, dan tokoh Islam yang merasa tidak dapat menemukan tempat di tugas-tugas pemerintahan negara yang baru. Sebagai akibatnya, banyak kalangan Islam memilih untuk kembali ke pesantren dan fokus pada pendidikan para santrinya. Namun, ada juga yang merasa marah karena merasa tidak terakomodasi,” tambah Mahfud MD.

Marginalisasi kalangan Islam dalam pemerintahan negara yang baru ini menimbulkan kemarahan di kalangan Islam, salah satunya adalah Kartosoewirjo yang kemudian mendirikan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII).

“Perjuangan Kartosoewirjo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia berlanjut dan masih memiliki dampak hingga saat ini, seperti yang terjadi dalam kontroversi seputar Panji Gumilang. Jadi, pada awalnya Panji Gumilang merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia,” jelasnya.

Mahfud menjelaskan bahwa NII adalah organisasi yang tidak terlihat secara fisik, tetapi memiliki struktur yang terdiri dari syekh sebagai pemimpin, gubernur, menteri, bupati, dan camat.

Pemikiran Kartosoewirjo dan pergerakan NII akhirnya diketahui oleh pemerintah.

Meskipun NII yang diprakarsai oleh Kartosoewirjo dianggap telah berakhir, pemerintah mengetahui bahwa NII masih ada meskipun telah diberantas di berbagai tempat.

Oleh karena itu, pemerintah melakukan operasi untuk melemahkan NII dengan memecah belah dan memicu konflik antar NII.

“Pemerintah mengetahui hal tersebut, sehingga pada awal tahun 1970-an, pemerintah melakukan operasi untuk memecah belah dan memicu konflik antar kelompok NII. Ini adalah operasi yang dilakukan oleh Ali Moertopo,” ungkap Mahfud.

“Memang dulu terjadi seperti itu, ada komando jihad, ada orang-orang yang dipancing untuk berkumpul dan kemudian disuruh membuat resolusi, membuat pernyataan yang keras. Setelah itu, mereka ditangkap dan kemudian dihadirkan sebagai kelompok jihad yang sama dengan NII sebelumnya. Saya mendengarnya langsung dari sumbernya,” tambahnya.

Lebih lanjut, Mahfud mengungkapkan bahwa hasil dari operasi dan manipulasi pemerintah pada saat itu mengakibatkan terbentuknya NII yang terkait, salah satunya memiliki wilayah yang sekarang dikenal sebagai Al Zaytun.

“Dengan memicu konflik antara kelompok NII, jika kita menggunakan terminologi yang dikenal oleh kalangan NU, mirip dengan selawat Asyghil: ‘Wa asyghilid dholimin bid dholimin’. Dengan memicu konflik antara NII, akhirnya NII akan hancur sendiri,” paparnya.

Kemudian, setelah merasa nyaman dengan pemerintah dan merasa aman, Panji Gumilang memutuskan untuk memisahkan diri dan membentuk entitas baru, yang kemudian menjadi seperti yang kita kenal sebagai Al-Zaytun saat ini.

Mahfud menyatakan bahwa di balik semua ini, terdapat latar belakang sejarah dan masih ada banyak pengikut yang tetap memegang teguh ideologi tersebut.