Oleh karena itu, parpol berwenang untuk menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

Dengan sistem proporsional tertutup, parpol dapat menjaga kualitas dan kemampuan calon yang diusungnya.

Kedua, sistem proporsional tertutup mencerminkan konsep kedaulatan parpol.

Parpol memiliki kedaulatan dalam menentukan kader-kader yang akan duduk di lembaga perwakilan melalui proses pendidikan dan rekrutmen politik yang demokratis sesuai dengan amanat UU Parpol.

Hal ini memberikan jaminan kepada pemilih bahwa calon yang dipilih oleh parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat.

Namun, saat ini sistem pemilu dilakukan dengan proporsional terbuka/suara terbanyak perseorangan.

Pada dasarnya, sistem ini menempatkan individu sebagai peserta pemilihan.

Dengan norma-norma liberal yang tinggi dan mengedepankan elektabilitas perseorangan, parpol kehilangan maknanya dalam sistem ini.

Tidak ada perintah konstitusi yang menetapkan pemilu dengan proporsional terbuka dilanjutkan dengan suara terbanyak.

Pemohon, yang merupakan pengurus parpol, menganggap bahwa sistem proporsional terbuka telah dimanfaatkan oleh caleg pragmatis yang hanya mengandalkan popularitas dan kemampuan untuk menjual diri tanpa memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol.

Selain itu, caleg yang dipilih melalui sistem proporsional terbuka seringkali tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik.

Akibat adopsi sistem proporsional terbuka, anggota DPR/DPRD terlihat seolah-olah mewakili organisasi parpol, padahal sebenarnya mereka mewakili diri sendiri.

Oleh karena itu, pemohon berpendapat bahwa seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang berhak menjadi wakil partai di parlemen setelah menjalani pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Di sisi lain, fraksi-fraksi DPR menolak pengembalian sistem pemilu ke proporsional tertutup.

Sidang berlangsung dalam suasana maraton dengan 16 kali sidang yang dilakukan.

Penolakan tersebut berasal dari 8 fraksi DPR yang berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka lebih memungkinkan adanya liberalisme politik atau persaingan bebas.

SMereka berpendapat bahwa pemilu seharusnya melibatkan persaingan antar parpol, bukan individu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.