“Jadi seperti yang selalu saya sampaikan, DPR saat ini fokus untuk bisa menyelesaikan RUU di masing-masing komisinya.”

“Maksimal dua RUU per tahun yang sesuai dengan tata tertib,” kata Puan di depan Mahkamah DPR RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa kemarin.

Jika 2 RUU sudah selesai, setiap komisi baru dipersilakan untuk membahas RUU baru lainnya.

Namun, jika tujuan kedua RUU tersebut belum dibahas secara tuntas, maka tidak akan beranjak untuk membahas RUU lainnya.

Jika RUU Perampasan Aset Belum DIbahas, DPR Akan Diuntungkan Jika Rakyat Diam

Tekanan publik harus ditingkatkan, kata Lucius, karena RUU itu, jika segera disahkan, akan berdampak luas dalam membantu penegakan hukum menyita aset para penjahat.

“Jadi desakan publik yang sebenarnya dapat mendorong RUU ini bisa segera dibahas DPR.”

“Kalau masyarakat diam, justru menguntungkan DPR yang tidak punya insentif untuk segera membahasnya,” kata Lucius pada Jumat, 14 Juli 2023.

Namun, jika tekanan publik kurang kuat, Lucius memprediksi DPR akan menunda pembahasan RUU Perampasan pada tahun politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Menurut Lucius, fokus politisi dan partai politik akan terpecah dan kemungkinan besar akan lebih sibuk mencari dukungan publik daripada membahas RUU perampasan aset.

“Di tahun politik ini, saya rasa tidak cukup waktu bagi DPR untuk membahas RUU yang berisiko seperti penyitaan ini.

“Kalau saja DPR mau membahas RUU ini saja, saya ragu, mungkin setelah Pemilu 2024,” kata Lucius.

Menurut Lucius, jika DPR membahas RUU itu setelah Pemilu 2024, kemungkinan besar mereka tidak akan mengetahu tanpa tekanan politis elektoral.

“DPR saat itu tidak memiliki kewajiban moral untuk memenuhi permintaan publik seperti saat mengesahkan revisi UU KPK pada akhir 2019 lalu,” kata Lucius.