Rafael Alun didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, yang menarik perhatian adalah keterlibatan putranya, Mario Dandy Satriyo, dalam perkara ini.

Dalam persidangan yang digelar pada Rabu, 30 Agustus 2023, JPU KPK mengungkapkan bahwa Mario Dandy Satriyo, putra dari Rafael Alun, terlibat dalam penggunaan uang hasil korupsi untuk membeli mobil mewah.

Jaksa menjelaskan bahwa pada tahun 2020, Rafael Alun membeli sebuah mobil mewah merek Toyota Land Cruiser 200 VX-R 4×4 A/T tahun 2019 senilai Rp 2,1 miliar.

Transaksi ini diduga dilakukan untuk menyembunyikan asal-usul uang tersebut, dan pembelian dilakukan oleh Rafael Alun bersama-sama dengan Mario Dandy Satriyo.

Tuntutan yang sama juga mengarah pada fakta bahwa uang hasil gratifikasi yang diterima oleh Rafael Alun Trisambodo digunakan untuk berbagai transaksi pribadi yang meriah.

Dalam rentang waktu 2011 hingga 2023, Rafael diduga menggunakan uang hasil korupsi untuk membeli beberapa unit mobil mewah, membangun restoran di Yogyakarta yang diberi nama Bilik Kayu, memperoleh sepeda merek Brompton, hingga motor gede (moge) tipe Bonneville Speedmaster merek Triumph.

Selain itu, uang tersebut juga digunakan untuk pembelian tanah, pembangunan rumah, apartemen, perhiasan, dan barang-barang merek ternama.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi dasar pidana atas perbuatan Rafael Alun.

Pasal tersebut juga merujuk pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain itu, dalam persidangan yang sama, Rafael juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 16.644.806.137 bersama dengan istrinya, Ernie Meike Torondek.

Surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa KPK menunjukkan bahwa uang tersebut diterima oleh Rafael Alun dan Ernie Meike Torondek melalui berbagai perusahaan yang mereka dirikan, seperti PT ARME, PT Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar, dan PT Krisna Bali International Cargo.

Selama menduduki jabatan di DJP, keduanya diduga mendirikan perusahaan-perusahaan tersebut untuk memanfaatkan pemeriksaan pajak yang dilakukan terhadap wajib pajak.