Insiden ini telah memunculkan kembali isu rasisme dalam kepolisian dan profil rasial di daerah pinggiran Prancis yang berpenghasilan rendah dan multi-etnis.
Video tragis yang menunjukkan eksekusi Nahel oleh polisi telah memicu protes publik setelah saksi mata dan rekaman kamera keamanan tidak sejalan dengan narasi resmi kepolisian.
Mounia, ibu Nahel, menuduh bahwa putranya dibunuh karena memiliki “wajah Arab”.
Ia menyatakan bahwa petugas polisi melihat wajah Arab, seorang anak kecil, dan ingin mengambil nyawanya.
Petugas yang menembak mati Nahel akan diselidiki atas tuduhan pembunuhan sukarela setelah penyelidikan awal menyimpulkan bahwa “persyaratan penggunaan senjata secara legal tidak terpenuhi”.
Petugas yang terlibat mengklaim bahwa ia melepaskan tembakan fatal karena takut bahwa anak laki-laki itu akan menabrak seseorang dengan mobilnya.
Akibat Penembakan Nahel M, 45.000 Personil Polisi Prancis Dikerahkan
Prancis semakin terguncang pada Sabtu (1/7/2023) malam, dalam kerusuhan yang telah berlangsung selama empat malam berturut-turut, setelah penembakan Nahel M oleh seorang polisi yang memicu kemarahan masyarakat.
Pada saat itu, keluarga dan teman-teman Nahel berkumpul untuk menghadiri pemakamannya di pinggiran barat Paris.
Pemerintah Prancis telah mengambil langkah tegas dengan mendeploy 45.000 polisi dan beberapa kendaraan lapis baja untuk menangani kerusuhan ini, yang merupakan yang terburuk yang dihadapi oleh Presiden Macron sejak protes “Yellow Vest” yang terjadi pada akhir 2018 dan sempat membuat Prancis terjebak dalam situasi yang sulit.
Kementerian Dalam Negeri Prancis mengumumkan bahwa sebanyak 1.311 orang telah ditangkap dalam kerusuhan ini yang dipicu oleh kematian Nahel.
Nahel sendiri merupakan seorang remaja berusia 17 tahun dengan keturunan Aljazair dan Maroko.
Ia ditembak di sebuah perhentian lalu lintas pada hari Selasa (27/6/2023) di Nanterre, sebuah kota pinggiran di sekitar Ibu Kota Prancis.
Di rumah duka di Nanterre, sekitar 30 pemuda berjaga di pintu masuk dan meminta agar tidak ada gambar yang diambil.
Meskipun mereka bukan bagian dari keluarga Nahel dan tidak mengenalnya secara pribadi, mereka merasa terpanggil untuk memberikan penghormatan dan belasungkawa atas apa yang terjadi di kota mereka.
Pelayat yang berdatangan dalam jumlah banyak juga mengekspresikan perasaan yang sama.
Penembakan tragis terhadap Nahel, yang terekam dalam sebuah video, telah menghidupkan kembali keluhan yang sudah lama ada di kalangan masyarakat perkotaan yang miskin dan beragam etnis terkait dengan kekerasan dan rasisme yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Meskipun Presiden Macron membantah adanya rasisme sistemik dalam lembaga penegak hukum Prancis, penembakan ini menimbulkan keraguan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah di Prancis ini juga berdampak besar.
Sebanyak 994 orang telah ditahan dan lebih dari 1.350 mobil terbakar selama kerusuhan ini berlangsung.
Situasi yang memanas ini semakin menunjukkan perpecahan sosial yang dalam di Prancis dan menyoroti perlunya tindakan yang tegas untuk mengatasi masalah ketidakpuasan dan ketegangan dalam masyarakat.
Kematian Nahel M menjadi panggilan serius bagi pemerintah dan aparat kepolisian Prancis untuk meninjau kembali praktik-praktik mereka dalam menjaga keamanan dan menegakkan hukum. Tuntutan untuk keadilan dan perubahan sistemik semakin terdengar di tengah masyarakat yang kecewa dan marah.
Prancis berada di persimpangan jalan yang penting dalam menjawab tantangan ini dan mencari solusi yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, kesetaraan, dan harmoni sosial di negara tersebut.
Tinggalkan Balasan