Ketiga sopir telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan, pemurnian, pengembangan, pemanfaatan, pengangkutan, dan penjualan mineral atau batu bara yang tidak memiliki izin resmi seperti IUP, IUPK, IPR, SIPB, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dapat dikenakan ancaman hukuman 5 tahun penjara,” tambah Kapolres.

Dengan keberhasilan operasi ini, diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku penyelundupan batu bara ilegal.

Polisi akan terus berupaya melakukan pencegahan dan penindakan terhadap kegiatan ilegal yang merugikan negara dan lingkungan.

Mengenai Tambang Batu Bara Ilegal di Muara Enim

Kegiatan penambangan batubara ilegal di Kabupaten Muara Enim semakin merajalela tanpa hambatan hukum yang signifikan.

Bahkan, saat ini kegiatan tersebut sudah menggunakan alat berat, dan sebagian wilayah telah menjadi tempat bisnis ilegal para pemilik tambang.

“Setiap kali ada upaya untuk menindak mereka, mereka selalu menggunakan dalih masyarakat sebagai tameng, padahal hanya sedikit orang dari Muara Enim yang terlibat dalam kegiatan ini. Sebagian besar pelaku berasal dari luar daerah. Mereka mencoba mempermainkan masyarakat dengan pemerintah. Penanganan masalah ini harus dilakukan secara komprehensif, bahkan mungkin Presiden perlu memberikan perhatiannya,” tegas Ketua Umum Lembaga Masyarakat Gerakan Masyarakat Suka Lingkungan Hijau (DPP LSM-GEMASULIH) Sumatera Selatan, Andi Chandra, pada Minggu (2/4).

Menurut Andi, saat ini kegiatan penambangan yang mengatasnamakan masyarakat seolah-olah merupakan kegiatan tambang yang legal dan resmi.

Namun, mereka tidak memperhatikan dampak lingkungan yang timbul akibat kegiatan penambangan yang mereka lakukan.

Kerusakan lingkungan dan bencana alam menjadi dampak yang sering terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir bandang, kualitas air sungai yang semakin buruk, polusi udara di permukiman warga yang tidak sehat, dan kerusakan infrastruktur seperti jalan raya dan jalan perkampungan yang mengalami kerusakan parah akibat aktivitas pengangkutan batubara ilegal.

Selain itu, kata dia, kemacetan lalu lintas yang terjadi setiap hari terutama di wilayah Kecamatan Tanjung Agung dan Lawang Kidul disebabkan oleh tingginya aktivitas angkutan batubara ilegal.

Perlakuan sembrono dari para sopir batubara seringkali menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan kerugian jiwa dan materi, seperti menabrak rumah, pagar, dan tiang listrik, sehingga masyarakat harus menderita pemadaman listrik selama berjam-jam.

“Bahkan yang lebih menyedihkan, sudah berapa banyak nyawa yang hilang sia-sia akibat aktivitas penambangan yang tidak mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) penambangan. Semua ini terjadi karena dampak dari kegiatan tambang ilegal yang mengatasnamakan masyarakat. Mereka tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, bencana alam, dan korban jiwa yang tidak terhitung jumlahnya,” ungkap Andi.

Sangat disayangkan bahwa kegiatan yang mencolok seperti ini terlihat tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum di tingkat daerah maupun provinsi Sumatera Selatan.

Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengirim surat kepada pemerintah untuk meminta perhatian terhadap masalah ini.

Namun, hingga saat ini, semua itu tidak menghasilkan tindakan konkret.

Pemerintah harus memiliki integritas, keberanian, dan ketegasan untuk melakukan penertiban mulai dari akar permasalahan hingga ke puncaknya, seperti para pemilik tambang dan pembelinya, karena batubara ilegal ini dijual di luar wilayah Sumatera Selatan.

Jika pembeli juga ditindak dan ditangkap, secara otomatis bisnis ilegal ini akan mati dengan sendirinya, karena tidak mungkin ada pemodal yang berani menambang jika tidak ada pembelinya.