Perbedaan Malam 1 Suro dan 1 Muharram

Sebenarnya Suro berasal dari bahasa Arab Asyura yang berarti sepuluh, namun dalam penanggalan Islam Asyura adalah hari ke sepuluh pada bulan Muharram.

Soal tradisi, jika dalam Islam malam 1 Muharram dimaknai dengan penuh kesucian, budaya Jawa justru sebaliknya.

Malam 1 Suro telah dimaknai sebagai malam sakral, penuh mistis bagi masyarakat jawa.

Sehingga dalam menyambutnya, berbagai upacara-upacara peringatan identik dengan hal-hal berbau ritual yang pebuh mistis.

Tradisi yang dilakukan momen 1 Suro berbeda dengan  1 Muharram yang biasanya umat Islam merayakan dengan berdzikir, berdoa ataupun membaca Al Quran.

Sementara tradisi 1 Suro di masyarakat Jawa dengan cara membersihkan pusaka seperti keris dan semacamnya, memberi sesajen, berkunjung ke makam sesepuh dan menggelar slametan.

Oleh sebab itu, bulan 1 Suro di masyarakat Jawa dianggap sakral dan mistis.

Tradisi 1 Suro yang penuh sakral dan mistis karena pengaruh budaya kraton jaman terdahulu.

Kraton sering mengadakan upacara dan ritual penting saat peringatan Malam 1 Suro yang pada akhirnya diwariskan ke masyarakat dan generasi berikutnya hingga sekarang.

Kemistisan malam 1 Suro juga terkait dengan politik kebudayaan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada medio 1628-1629.

Saat itu, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia. Kekalahan itu membuat pasukan Mataram terbagi ke dalam berbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.

Guna merangkul pasukan Mataram yang telah terpecah belah itu, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.

Pembauran kalender ini membuat peringatan 1 Muharram tak bisa lepas dari tradisi-tradisi Jawa yang masih kental dengan tradisi Hindu, seperti sesaji dan yang lain.

Dalam masyarakat Jawa, cara merayakan malam 1 Suro masih dipengaruhi oleh tradisi kraton. Misalnya, kirab, tapa bisu, membersihkan pusaka atau keris.

Ada juga orang yang merayakan 1 suro dengan berziarah ke makam sesepuh hingga slametan.

Kemudian mengadakan tirakatan, melekan atau tak tidur semalaman, dan tuguran atau perenungan diri sambil berdoa

Sedangkan peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram maknanya lebih spesifik seperti pengingat peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.

1 Muharram juga sebagai bentuk perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menyebarkan agama Islam.

Umat Islam juga diharapkan intropeksi diri atau muhasabah atas kesalahan di tahun sebelumnya, seehingga tahun depan seorang muslim lebih mawas diri dan bertambah keimanannya.

Dalam Islam, tidak ada larangan secara spesifik selama bulan Muharram. Dalam QS At Taubah ayat 36:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”

Sebenarnya keduanya, 1 Suro dan 1 Muharram memiliki kesamaan dalam hal mengucapkan rasa syukur, mendekatkan diri kepada pencipta dan mengingat leluhur dan orang yang dituakan.

Keduanya sama-sama menandakan pergantian tahun yang terjadi dalam sebuah penanggalan.

1 Muharram dalam penanggalan Islam dan 1 Suro dalam penanggalan Jawa.