Adanya diskusi bertujuan untuk mempertimbangkan judicial review atau langkah lainnya.

Di sisi lain, dia akan menunggu terbitnya dokumen UU Kesehatan tersebut.

“Misalnya kalau kita bicara mandatory sepnding (biaya wajib), regulasi turunannya bagaimana”

“Atau kita bicara genome, bagaimana aturan turunannya. Atau berbicara surat registrasi dokter atau KKI, itu semua perlu ada aturan turunan,” katanya.

“Itu yang akan kita lakukan dulu, baru kita pertimbangkan kita pikirkan dan kita tentukan langkah apa yang akan kita ambil.”

Jika isi undang-undang tersebut tidak sesuai harapan, pihaknya akan melakukan diskusi dengan rekan-rekan termasuk tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Tapi jelas kalau memang tidak sesuai yang kami harapkan dan usulkan, saya kira perlu ada judicial review,” imbuh Iqbal.

Lima Organisasi Profesi Akan Ajukan Judicial Review Jika RUU Kesehatan Dilanjutkan

Sebelumnya, tenga kesehatan dan tenaga medis yang tergabung dalam lima organisasi profesi itu berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika pembahasan RUU itu tidak dihentikan.

Adanya wacana aksi mogok kerja juga merupakan opsi perlawanan.

Belum lama ini, Harif Fadhillah, selaku Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengatakan, pihaknya akan mogok kerja karena pemerintah tidak mengundang organisasi profesi untuk ikut pembahasan RUU dengan metode omnibus law itu.

Padahal sebagaimana diketahui, organisasi profesi memiliki peran penting dalam mengatur anggotanya yang merupakan tenaga kesehatan di Indonesia.

Organisasi profesi, termasuk organisasi keperawatan, merupakan garda utama yang memberikan pendampingan dan memberikan sanksi etik, terutama bila ada kasus petugas kesehatan melakukan malpraktik.

“Kita terus konsolidasi. Baru kemarin di rapat nasional PPNI, diputuskan kita bisa mogok kerja, cuti pelayanan sebagai bagian dari penentangan proses RUU Kesehatan yang menurut kami tidak terjamin,” kata Harif baru-baru ini.