KABARKIBAR.ID- Selokan atau got menjadi satu-satunya akses jalan menuju rumah sepasang lansia, Ngadenin (63) dan Nur (55), yang terletak di Jalan Raya Jatiwaringin, RT 03 RW 04, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi.

Situasi ini membuat mereka menghadapi kesulitan dan risiko yang tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kondisi rumah mereka yang tidak memiliki akses keluar-masuk selama tiga tahun terakhir setelah ditutup oleh tembok hotel menjadi permasalahan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Untuk bisa mencapai rumahnya, Ngadenin harus mengenakan sepatu boots agar terhindar dari risiko kaki terluka.

Got yang menjadi satu-satunya akses menuju rumah dipenuhi dengan berbagai limbah, seperti plastik, pecahan beling, paku, batu, dan kawat tajam.

Melintasi got tersebut bukanlah hal yang mudah bagi Ngadenin.

Ia harus berpegangan pada tembok yang menjulang tinggi di sampingnya agar bisa melewati got dengan aman.

Langkahnya harus perlahan dan hati-hati, takut terpeleset atau menginjak pecahan beling dan paku yang dapat melukai kakinya.

Ngadenin mengungkapkan bahwa got tersebut adalah satu-satunya akses untuk masuk ke rumahnya.

Usianya yang sudah tidak lagi muda membuat Ngadenin merasa terpaksa pulang ke rumah melalui akses yang penuh dengan bahaya tersebut, karena tidak ada alternatif akses lain yang tersedia.

Selama tiga tahun terakhir, Ngadenin harus hidup dengan kondisi tersebut.

Rasa lelah dan ketidaknyamanan akhirnya membuatnya memutuskan untuk tidur di warung satenya yang terletak tidak jauh dari rumah.

Padahal, seharusnya rumah menjadi tempat beristirahat yang nyaman bagi Ngadenin dan istrinya setelah berjualan sate dan tongseng.

Namun, dengan kondisi akses yang sulit dan berbahaya, Ngadenin merasa bahwa pulang ke rumah bukanlah pilihan yang aman dan nyaman baginya.

“Got ini sangat rawan menurut saya, ada paku, beling, dan kawat yang menonjol begitu,” ucap Ngadenin dengan perasaan sedih.

Kelelahan yang dirasakannya akhirnya membuatnya memilih untuk tidur di warung sebagai tempat tinggal sementara.

Lebih menyedihkan lagi, Ngadenin terpaksa berpisah dengan kelima anaknya yang harus menyewa kos karena tidak cukup tempat tinggal di warung tersebut.

Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Ngadenin dan istrinya, yang harus hidup terpisah dari keluarga mereka.