KABARKIBAR.ID- Era pendidihan global telah menyebabkan dua bencana yang tampaknya kontradiktif, yaitu gelombang panas yang ekstrem dan curah hujan yang sangat lebat yang berujung pada banjir yang dahsyat.
Keduanya terjadi secara bersamaan dengan intensitas yang semakin kuat.
Hal ini telah menarik perhatian banyak pihak, mengingat dampak yang signifikan pada lingkungan dan masyarakat.
Sebelumnya, António Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), telah mengeluarkan pernyataan melalui situs PBB bahwa dunia saat ini telah memasuki era pemanasan global, yang melampaui sekadar “era pemanasan global.”
Guterres memperingatkan tentang perubahan iklim yang sudah nyata terjadi dan memiliki dampak yang mengkhawatirkan.
Ia juga menegaskan bahwa kita berada di awal fase ini, dan masih memiliki kesempatan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, sebagaimana yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015.
Namun, hal ini memerlukan tindakan iklim yang dramatis dan segera.
Angka 1,5 derajat Celsius telah menjadi batas ambang untuk kenaikan suhu global pada tahun 2050, yang diakui dalam Perjanjian Paris.
Namun, pada bulan Juni, suhu rata-rata Bumi telah melewati batas ini, menurut laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program pengamatan Bumi Copernicus dari Uni Eropa.
Bahkan pada bulan Juli 2023, data hingga pertengahan bulan menunjukkan bahwa suhu global telah memecahkan rekor panas sepanjang sejarah.
Carlo Buentempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus, mengungkapkan bahwa tiga minggu pertama bulan Juli telah menjadi periode tiga minggu terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah pengamatan.
Ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan terkait peningkatan suhu global dan dampaknya pada berbagai aspek lingkungan dan kehidupan manusia.
Namun, ironisnya, di tengah era pendidikan global yang menyebabkan peningkatan suhu ekstrem, terjadi pula bencana lain yang bertolak belakang, yaitu curah hujan yang sangat lebat yang berujung pada banjir yang menghancurkan.
Peneliti Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menjelaskan bahwa ini adalah konsekuensi dari dinamika iklim yang semakin tidak stabil.
“Ada ancaman banjir dahsyat, di sisi lain ada ancaman dari gelombang panas. Ini yang sedang terjadi di negara-negara maju di belahan Bumi utara.
Ini juga yang diperingatkan oleh Sekjen PBB mengenai fase Bumi yang tengah mendidih,” kata Erma dalam keterangan melalui platform YouTube.
Anak-Anak Asia Selatan Terpapar Pendidihan Global, Ancaman Terhadap Kesejahteraan Jutaan Generasi Muda
Asia Selatan, kawasan yang subur dengan keragaman budaya dan lanskap yang memukau, menyimpan kenyataan yang memilukan.
Tingkat paparan anak-anak terhadap suhu panas ekstrem di kawasan ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan seluruh wilayah lain di dunia.
Laporan analisis terbaru yang dirilis oleh UNICEF pada Senin, 7 Agustus 2023, mengungkapkan situasi memprihatinkan ini, mendorong kita untuk merenung tentang dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Menurut data yang dihimpun dan dianalisis oleh UNICEF, sekitar 76 persen dari total anak-anak di bawah usia 18 tahun di Asia Selatan, setara dengan angka mencapai 460 juta anak, menghadapi risiko serius akibat suhu panas melebihi 35 derajat Celsius.
Lebih mengejutkan lagi, kondisi ini terjadi selama minimal 83 hari atau lebih dalam setahun.
Dalam kata lain, tiga dari empat anak di wilayah ini terpapar suhu yang mengkhawatirkan, sebuah angka yang jauh melampaui rata-rata global di mana hanya satu dari tiga anak yang menghadapi risiko serupa.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan