Ayahnya, RM Soerjaningrat adalah seorang priyayi yang berprofesi sebagai pegawai Keraton Yogyakarta dan ibunya, RM Soelastinah, berasal dari keluarga bangsawan Jawa.

Ki Hajar Dewantara mendapatkan pendidikan formal di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak pribumi yang ingin belajar di bawah pengawasan Belanda.

Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).

Setelah menyelesaikan pendidikan di Eropa, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia dan mendirikan sekolah bernama Taman Siswa pada tahun 1922.

Tujuan utama pendirian Taman Siswa adalah untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak pribumi yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal.

Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang harus diberikan kepada setiap orang tanpa terkecuali.

Selama hidupnya, Ki Hajar Dewantara terus memperjuangkan hak pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ia memperjuangkan pendidikan sebagai sebuah sarana untuk memajukan bangsa Indonesia dan mengangkat martabat bangsa.

Ki Hajar Dewantara juga memiliki konsep pendidikan yang berbeda dengan pendidikan tradisional yang ada pada masa itu.

Ia mengusung konsep pendidikan yang bertumpu pada kearifan lokal dan kebangsaan Indonesia.

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai “Pendidikan Karakter” atau “Education for Character”.

Ia percaya bahwa pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas secara akademik, tetapi juga untuk membentuk karakter yang baik.

Menurutnya, karakter yang baik adalah kunci untuk membangun bangsa yang kuat dan mandiri.

Selain sebagai pelopor pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai seorang tokoh yang gigih dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia.

Ia terlibat dalam berbagai organisasi politik dan sosial pada masa itu, seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, dan Partai Nasional Indonesia.