Meski demikian, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait pertumbuhan ekonomi Jepang ini.

Martin Schulz dari Fujitsu menunjukkan bahwa tantangan utama di paruh kedua tahun 2023 adalah perlambatan ekonomi domestik.

Pada sisi lain, Marcel Thieliant dari Capital Economics menyoroti beberapa isu seperti penurunan konsumsi swasta yang lebih dari setengah dari total ekonomi Jepang.

Selain itu, kenaikan gaji bagi pekerja Jepang selama 28 tahun terakhir terjadi bersamaan dengan lonjakan inflasi yang mendekati level tertinggi dalam empat dekade.

Meskipun upah naik, daya beli sebenarnya menurun selama lebih dari satu tahun terakhir.

Faktor-faktor ini membentuk gambaran yang lebih komprehensif tentang situasi ekonomi Jepang yang penuh kompleksitas.

Potensi Penguatan Yen Jepang dan Peluang Investasi dalam Pasangan Mata Uang USD/JPY

Pasangan mata uang USD/JPY tengah menarik perhatian para pelaku pasar dan investor sebagai pilihan menarik dalam investasi mata uang valuta asing (valas).

Seiring intervensi pemerintah Jepang dalam mengendalikan kurva imbal hasil atau yield curve control (YCC), yen memiliki potensi untuk terus menguat.

Alwi Assegaf, seorang Pengamat Mata Uang, menyatakan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh Bank of Japan (BoJ) dalam mengontrol kurva imbal hasil patut dicermati.

Kebijakan moneter yang sangat longgar yang diimplementasikan oleh BoJ telah menjadi sorotan pasar, terutama saat YCC diperlebar sebanyak 50 basis poin menjadi 1,00%.

Hal ini berdampak pada kenaikan imbal hasil atau yield obligasi Jepang yang signifikan.

Tidak jarang pula pemerintah Jepang melakukan intervensi dalam nilai tukar mata uang.

Ketika nilai tukar yen dianggap mengkhawatirkan dan berpotensi mengganggu sektor impor, otoritas moneter Jepang akan turun tangan melakukan intervensi.

“Kebijakan perluasan YCC ini kemungkinan akan mendorong investor Jepang untuk mengalihkan dana mereka dari investasi luar negeri dan lebih memilih untuk berinvestasi dalam obligasi domestik,” jelas Alwi pada Jumat, 11 Agustus 2023.

Di sisi lain, dolar Amerika Serikat (AS) juga berpotensi untuk melemah. Pasca kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada bulan Juli 2023, banyak yang berpendapat bahwa kenaikan suku bunga tersebut mungkin akan menjadi kenaikan terakhir dalam waktu dekat.

Menurut Alwi, data perekonomian AS memberikan sinyal bahwa The Fed tidak akan terburu-buru untuk melakukan kenaikan suku bunga.

Meskipun angka inflasi tahunan AS naik sebesar 3,2 persen, angka tersebut masih berada di bawah ekspektasi pasar yang sekitar 3,3 persen.

Selain itu, data terkini mengenai Non Farm Payroll (NFP) juga menunjukkan adanya pelonggaran dalam sektor tenaga kerja, yang mungkin akan memaksa The Fed untuk menunda kenaikan suku bunga lebih lanjut.

“Dengan demikian, kemungkinan The Fed akan menahan langkah-langkah ketat dalam kebijakan moneter, yang akan membawa koreksi terhadap posisi dolar AS yang pada saat ini telah mengalami kenaikan cukup signifikan,” ungkap Alwi.

Dalam konteks ini, Alwi menyatakan bahwa potensi penguatan Japanese Yen (JPY) sebagai akibat dari intervensi pada kurva imbal hasil, ditambah dengan kemungkinan pelemahan lebih lanjut dari Dolar AS (USD) karena langkah-langkah kurang agresif dari The Fed, akan menciptakan kombinasi yang menarik untuk diperdagangkan dalam pasangan mata uang USD/JPY.

Dalam pandangannya, pasangan mata uang USD/JPY berpotensi untuk bergerak menuju kisaran 137,00 pada akhir tahun ini, dibandingkan dengan level saat ini yang berada di kisaran 144,00 – 145,00.

Tidak hanya itu, adanya potensi deflasi di China juga memiliki dampak domino pada perlambatan ekonomi secara global, yang mungkin akan mendorong pasar menuju situasi risk-off.

Dalam momen ini, yen memiliki peluang sebagai mata uang safe haven atau lindung nilai yang dicari oleh para investor.