(1) Dalam melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.

(2) Fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  1. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya;
  2. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan;
  3. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan
  4. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(3) Gedung atau fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disewakan kepada umum dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 305:

(1) Penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan presiden dan wakil presiden menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan secara profesional dan proporsional.

(2) Dalam hal presiden dan wakil presiden menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, fasilitas negara yang melekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan sebagai presiden dan wakil presiden.

(3) Calon presiden dan calon wakil presiden yang bukan presiden dan wakil presiden, selama kampanye diberikan fasilitas pengamanan, kesehatan, dan pengawalan oleh Polri.

(4) Pengamanan dan pengawalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibiayai dari APBN.

(5) Ketentuan lebih lanjut bagi pelaksanaan pengamanan dan pengawalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Tak Ada Ketentuan Pidana dalam UU Pemilu

Namun, kegiatan kampanye para pejabat tersebut tidak tunduk pada ketentuan pidana.

UU Pemilu hanya mengatur beberapa ketentuan pidana terkait pejabat negara dan perangkat desa.

Termuat dalam Pasal 280 (2) dan (3), pada daftar ini tidak termasuk presiden atau kepala daerah.

Hal ini meliputi:

  1. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
  2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  3. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
  4. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD
  5. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
  6. aparatur sipil negara (ASN);
  7. anggota TNI dan Polri
  8. kepala desa;
  9. perangkat desa;
  10. anggota badan permusyawaratan desa;

Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam huruf a – d yang terbukti terlibat sebagai pelaksana/anggota kelompok kampanye diancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda Rp 24 juta.

Sementara itu, pejabat negara pada huruf f sampai j diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda Rp 12 juta.

Kepala desa juga dapat menerima hukuman yang sama jika melakukan hal-hal yang menguntungkan sebagian peserta pemilu.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi berupa administratif berbentuk teguran lisan atau tertulis.

Hal itu tertuang dalam Pasal 29 dan 30 serta 51 dan 52 UU Desa.

Apabila sanksi administratif tidak diterapkan, mereka dapat dihentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Desa tidak memuat aturan atau sanksi bagi kepala daerah terlibat kampanye pemilu.