Sedangkan dalam program perlindungan sosial di Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan, di antaranya belum dilakukannya pengelolaan pembayaran iuran program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Masalah ini meliputi belum ada alokasi anggaran iuran program JKP dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemnaker, belum dilakukannya verifikasi dan pembayaran tagihan BPJS Ketenagakerjaan untuk pencairan dana bantuan iuran JKP dari pemerintah pada Tahun Anggaran 2022, serta belum adanya instrumen atau petunjuk teknis pengelolaan program JKP tahun 2022.

Selain itu, Kemnaker juga belum mengelola pemberian manfaat pelatihan kerja dalam program JKP secara optimal, termasuk pelaksanaan konseling sebagai prasyarat untuk memperoleh manfaat pelatihan kerja yang belum optimal.

Selain itu, tidak semua penerima manfaat tunai memanfaatkan manfaat pelatihan kerja, klaim biaya pelatihan kerja masih rendah, dan terdapat tagihan atas biaya pelaksanaan pelatihan kerja yang tidak dapat dibayarkan kepada Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).

“Selama proses pemeriksaan berlangsung, entitas (Kemensos dan Kemnaker) telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara sebesar Rp 376,48 miliar,” seperti yang dikutip dari IHPS II 2022.

BPK Ungkap 3.490 Temuan Senilai Rp25,85 Triliun

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya 3.490 temuan dari hasil pemeriksaan yang mencakup 5.266 permasalahan senilai Rp25,85 triliun.

Ketua BPK, Isma Yatun, mengungkapkan hal ini saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2022 dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (20/6/2023).

Isma Yatun menjelaskan bahwa temuan tersebut terdiri dari 1.295 permasalahan terkait kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), 1.766 permasalahan terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan 2.205 permasalahan terkait ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.

Nilai permasalahan yang terungkap mencapai Rp14,65 triliun untuk permasalahan ketidakpatuhan, dan Rp11,20 triliun untuk permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.

“Selama proses pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan melakukan penyetoran uang dan/atau penyerahan aset sebesar Rp577,69 miliar,” kata Isma Yatun.

BPK juga mencatat bahwa dari 1.766 permasalahan ketidakpatuhan, terdapat kerugian sebesar Rp536,81 miliar yang terjadi pada 157 objek pemeriksaan.

Selain itu, permasalahan ketidakpatuhan tersebut juga menyebabkan potensi kerugian sebesar Rp11,53 triliun pada 94 objek pemeriksaan, serta kekurangan penerimaan sebesar Rp2,58 triliun.

BPK juga menemukan 488 permasalahan ketidakpatuhan yang menyebabkan penyimpangan administrasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi entitas yang diperiksa.

Dalam kategori ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, terdapat 76 permasalahan ketidakhematan senilai Rp277,11 miliar, 2 permasalahan ketidakefisienan, dan 2.127 permasalahan ketidakefektifan senilai Rp10,93 triliun.

Berdasarkan temuan tersebut, BPK memberikan rekomendasi kepada entitas yang diperiksa untuk melakukan tindakan perbaikan dan peningkatan pengendalian intern, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan hemat dalam pengelolaan anggaran.

Selama proses pemeriksaan berlangsung, entitas yang diperiksa juga telah melakukan penyetoran uang dan/atau penyerahan aset sebesar Rp577,69 miliar.

Namun, masih dibutuhkan tindak lanjut lebih lanjut agar permasalahan-permasalahan yang terungkap dapat diselesaikan dengan baik.

BPK menekankan pentingnya pengawasan dan pengendalian yang baik dalam pelaksanaan program dan pengelolaan anggaran agar potensi kerugian dan penyimpangan dapat diminimalisir.

Rekomendasi BPK diharapkan dapat dijadikan acuan untuk perbaikan sistem dan prosedur di lembaga pemerintah agar efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara dapat tercapai.