“Jadi dari segi ide, undang-undang mengesahkan bahwa yang masuk ke TPA itu adalah residu saja,” kata Nur.
Tak hanya itu, peraturan tersebut juga menargetkan konversi TPA di seluruh Indonesia menjadi berbasis sanitary landfill dalam waktu kurang lebih lima tahun.
Padahal, dalam praktiknya, sebagian besar TPA hanya digunakan sebagai tempat penumpukan sampah, bukan pengelolaan sampah.
Bahkan alat monitoring dan evaluasi belum tersedia.
Artinya hingga tahun 2021, gunungan sampah TPA tidak akan pernah terkelola dengan baik.
Selain aspek hukum, masyarakat juga memiliki peran penting dalam proses pengelolaan sampah.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran tersebut adalah memberi edukasi melalui sektor pendidikan.
Suci Lestari Yuana, MIA., Dosen Fakultas Ilmu Politik dan Sosial (Fisipol) UGM telah menggarap hal tersebut sejak tahun 2021 dengan membuka sekolah economy circular.
“Kami selalu berpikir, kalau ingin melakukan perubahan yang jangka panjang, harus dimulai dari pendidikan.”
“Kami undang kepala sekolah di Pulau Jawa, ya, sementara ini. Kami memperkenalkan sistem ekonomi sirkular yang sederhana namun berdampak tinggi,” katanya.
Dia menambahkan bahwa banyak orang yang salah paham tentang ekonomi sirkular ini.
Sebagian besar fokusnya adalah pada pengelolaan sampah tahap akhir.
Nyatanya dari produksi, distribusi, dan konsumsi, setiap tahapan mengandung limbah.
“Itu adalah sesuatu yang jarang kita diskusikan dan pahami. Setiap kegiatan kecil menghasilkan sampah,” kata Suci.
Tinggalkan Balasan