KABARKIBAR.ID – Kondisi penumpukan sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini menjadi tidak terkendali.

Hal ini timbul karena adanya penutupan Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta per 23 Juli 2023 yang lalu.

Sebagian warga memilih untuk membakar sampahnya, yang tentunya berpengaruh pada kualitas udara.

Namun, yang lebih memprihatinkan adalah keadaan sampah yang menumpuk di sepanjang jalan dan rumah-rumah kosong di pinggir jalan.

Penutupan TPA Piyungan akibat kapasitas penampungan sampah di lahan TPA Piyungan terlampaui.

Mencermati pengelolaan sampah di Yogyakarta akhir-akhir ini, ahli politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM.

Hal ini mengungkap beberapa kebenaran dari sudut pandang hukum dan sosial kepedulian masyarakat terhadap sampah.

“Pertanyaannya, kenapa pada gaduh setelah penuh setelah (TPA) ditutup.”

“Bukankah selama ini kita punya masalah sampah? Sekarang kita bisa melihat bahwa apa yang kita pikir diproses, ternyata belum,” jelas Nur Azizah dalam diskusi bertajuk “Piyungan Penuh, Masyarakat Gaduh” seperti dilansir laman UGM, Senin, 14 Agustus 2023.

Kesadaran Masyarakat Terhadap Sampah Masih Kecil

Menurutnya, kesadaran masyarakat akan sampah masih sangat rendah.

Bahkan setelah penutupan TPA Piyungan, hal ini menyebabkan penumpukan sampah di pemukiman.

“Penutupan ini bukan yang pertama kali. Tapi berulang dan belum ada solusi yang pas,” jelas Nur.

Menurutnya, regulasi terkait pengelolaan sampah sudah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Sayangnya, implementasi peraturan tersebut masih lemah.

“Kalau melihat undang-undang, isinya sangat canggih. Ada penyebutan tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan bahkan EPR atau Extended Producer Responsibility telah muncul.”

“Jika kita cek kembali pada tahun 2008, TPA dulunya adalah Tempat Pembuangan Akhir, telah diubah ke posisi Tempat Pemrosesan Akhir.”