Jika terdapat calon anggota DPR/DPRD yang dinilai tidak mampu menerjemahkan ideologi, visi misi, dan cita-cita partai politik dengan baik sehingga dapat mengancam upaya mencapai kesamaan cita-cita dalam memperjuangkan dan membela partai politik, anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, maka seyogianya partai politik tidak mengajukan calon tersebut.

Bahkan jika calon tersebut telah diajukan sebagai bakal calon, partai politik masih dapat meninjau atau mempertimbangkan kembali pencalonannya sebelum ditetapkan dalam daftar calon tetap.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MK memutuskan untuk mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka.

Meskipun terdapat dissenting opinion dari Hakim Arief Hidayat, putusan MK ini menjadi titik penting dalam memperkuat sistem pemilu yang ada dan menegaskan peran partai politik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

MK Anggap Sistem Pemilu Tertutup tak Menjamin Hilangnya Politik Uang

Saldi, salah satu hakim konstitusi, menegaskan bahwa praktik politik uang memiliki potensi terjadi pada sistem pemilu apa pun, baik itu proporsional terbuka maupun tertutup.

Ia menekankan bahwa yang perlu diperhatikan adalah upaya mitigasi terhadap praktik politik uang dalam pemilu.

Saldi memiliki tiga catatan konkret mengenai langkah-langkah dalam mencegah politik uang.

Pertama, partai politik dan calon anggota DPR/DPRD harus meningkatkan komitmen mereka untuk menjauhi dan bahkan sepenuhnya menghindari politik uang dalam setiap tahapan pemilu.

Kedua, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas terhadap setiap pelanggaran pemilu, terutama pelanggaran yang terkait dengan politik uang, tanpa membedakan latar belakang pelaku baik dari pihak penyelenggara maupun peserta pemilu.

Ketiga, masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk menolak dan tidak mentoleransi praktik politik uang.

“Dengan demikian, masalah praktik politik uang dan tindak pidana korupsi sebenarnya lebih disebabkan oleh sifat strukturalnya daripada sekadar dipengaruhi oleh sistem pemilihan umum yang digunakan,” ungkap Saldi.

Selain itu, Saldi juga menekankan bahwa sistem pemilu terbuka tetap dapat menjamin keterwakilan perempuan dalam politik.

Kebijakan kuota 30 persen bagi perempuan di bidang politik merupakan bentuk affirmative action yang bersifat sementara dengan mewajibkan partai politik untuk mencalonkan perempuan sebagai calon anggota legislatif.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi.

Keterwakilan perempuan sebesar 30 persen menjadi syarat mutlak bagi partai politik peserta pemilu dalam mencalonkan kader perempuan dan juga bertujuan untuk menjaga peluang keterpilihan perempuan di lembaga legislatif.

Saldi menegaskan bahwa meskipun ambang batas kuota 30 persen bagi perempuan belum sepenuhnya tercapai, setidaknya sejak pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka, anggota DPR dari kalangan perempuan cenderung meningkat.

Selanjutnya, Saldi juga menyatakan bahwa kerumitan yang mungkin terjadi dalam sistem pemilu terbuka dapat diperbaiki.

Mahkamah berpendapat bahwa perbaikan teknis dalam penyelenggaraan pemilu tidak boleh mengesampingkan hal-hal yang bersifat substantif dan mendasar dalam memenuhi prinsip-prinsip pemilu yang demokratis, terutama dalam menjaga prinsip kedaulatan rakyat.

“Dalam pertimbangan tersebut, argumen-argumen yang diajukan pemohon terkait implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu, seperti yang dipertimbangkan secara lengkap dalam Paragraf 3.31, tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum yang digunakan,” tegasnya.