6. Geopark Batu Seribu
Wisata ini berlokasi di Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Geopark Batu Seribu menawarkan pemandangan alam yang indah dan berbagai spot menarik untuk berfoto.
Dengan berbagai destinasi wisata ‘instagramable’ yang menakjubkan ini, Solo menjadi tempat yang sempurna bagi para pecinta fotografi dan media sosial untuk menikmati liburan yang tak terlupakan.
Jelajahi keindahan kota ini dan abadikan momen-momen indah selama perjalanan wisata Anda!
Asal Usul Nama Solo, Jejak Sejarah Kerajaan Mataram Islam dan Perjalanan Namanya
Kota Solo, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Surakarta, memiliki asal usul nama yang terkait erat dengan sejarah Kerajaan Mataram Islam.
Rentetan peristiwa bersejarah menjadi cerminan dari bagaimana nama Solo muncul dan berkembang hingga saat ini.
Perjalanan asal usul nama Solo dimulai ketika pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam dipindahkan dari Keraton Kartasura ke Desa Sala.
Perpindahan ini terjadi akibat peristiwa geger pecinan, dimana Keraton Kartasura mengalami serbuan pemberontak dan hancur.
Raja Paku Buwono (PB) II, yang saat itu memerintah, memerintahkan pemindahan istana ke Desa Sala yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo.
Keputusan ini dipicu oleh kehancuran istana Kartasura dan untuk memastikan keselamatan serta stabilitas pemerintahan.
Pemindahan ini tak lepas dari peran Kiai Sala, seorang lurah dari Desa Sala.
Raja PB II membeli tanah dari Kiai Sala dengan harga 10.000 ringgit (gulden Belanda) untuk membangun istana Mataram yang baru.
Pada tanggal 20 Februari 1745, secara resmi istana baru dinamakan Keraton Surakarta Hadiningrat dan mulai dihuni.
Asal usul nama Solo sebenarnya berawal dari sebutan “Sala”, namun dalam pengucapannya yang sulit bagi orang Belanda, nama ini berubah menjadi “Solo”.
Sementara itu, nama “Surakarta” diberikan sebagai sebutan resmi bagi Keraton Surakarta, yang merupakan pusat pemerintahan baru Kasultanan Mataram Islam di Desa Sala.
Ada juga interpretasi lain tentang asal usul nama Surakarta.
Kata “Sura” dalam bahasa Jawa berarti “keberanian” sedangkan “karta” berarti “makmur”. Sehingga, nama “Surakarta” bisa diartikan sebagai tempat di mana penghuninya adalah orang-orang yang berani berjuang untuk kebaikan dan kemakmuran negara dan bangsa.
Nama ini juga bisa dianggap sebagai permainan kata dari “Kartasura”, mengingat perpindahan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Desa Sala.
Seiring berjalannya waktu, nama “Surakarta” lebih sering digunakan dalam konteks formal-pemerintahan, sementara “Sala” atau “Solo” lebih mengacu pada penyebutan umum yang berkaitan dengan aspek budaya.
Sejalan dengan sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat, wilayahnya terbagi menjadi dua setelah terjadi Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Perjanjian ini mengakibatkan pembagian wilayah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang setelah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.
Raden Mas Said menjadi seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, dan dinamakan Kadipaten Mangkunegaran Surakarta atau yang lebih dikenal dengan Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sejarah panjang dan perjalanan nama Solo memberikan pesona yang unik bagi kota ini.
Nama yang kini kita kenal sebagai Solo menjadi simbol dari keberanian, kemakmuran, dan keagungan sejarah yang pernah menghiasi kota ini.
Tinggalkan Balasan